Text
Si Anak Kuat
Amelia namanya. Ya! Namanya hanya satu kata, tidak lebih. Anak bungsu dari 4 bersaudara pasangan suami istri Bapak Syahdan dan Ibu Nurmas. Kakak tertuanya bernama Eliana atau kerap di sapa ‘Eli’ yang dikenal sebagai ‘Si Anak Pemberani’. Kakak keduanya bernama Pukat yang dikenal sebagai ‘Si Anak Jenius’. Terakhir, kakak ketiganya bernama Burlian yang dikenal sebagai ‘Si Anak Spesial’. Semua kakak-kakaknya juga memiliki kisah di bukunya masing-masing. Namun kali ini kita hanya akan fokus pada kisah sang tokoh utama buku ini saja, yaitu Amelia yang dikenal sebagai ‘Si Anak Kuat’. Bukan kuat fisik, melainkan kuat terhadap pemahaman nilai kehidupan dan keteguhan hati.
Namanya Amelia, tapi semua orang kerap memanggilnya ‘Amel’. Ia bersama keluarganya tinggal disebuah perkampungan indah. Persis di Lembah Bukit Barisan. Dilingkari oleh hutan lebat dibagian atasnya. Penduduknya sebagaian besar bermata pencaharian sebagai seorang petani kopi dan juga karet yang memang warisan turun temurun.
Kampung tempat Amel tinggal memang masih memiliki banyak keterbatasan, salah satunya dalam bidang pendidikan. Hanya ada satu sekolah dasar di kampungnya. Muridnya pun sedikit dapat dihitung jari dan itupun hanya ada satu guru yang mengajar. Mereka memanggilnya, Pak Bin. Salah seoarang yang sangat berjasa dalam kisah Amelia nantinya.
Sebenarnya ada satu guru PNS lagi yang merangkap menjadi kepala sekolah, tapi beliau tinggal di Kota Kabupaten. Kadang datang, namun lebih seringnya tidak. “Lantas bagaimana cara Pak Bin mengurus enam kelas sekaligus?” Pertanyaan yang mungkin terbesit dalam benak kita. “Dengan trik ajaibnya”, begitu Amel menjawabnya.
Di sekolah Amel mempunyai 3 teman dekat. Pertama ada Maya si paling cerewet dan penggemar no satu Paman Unus (adik dari Mamaknya Amel). Kedua ada Chuck Norris si paling nakal dan gemar menggambar. Terakhir ada Tambusai si paling semangat dalam segala hal dan humoris. Fakta menariknya mereka semua adalah anak bungsu sehingga sering merasa senasib sepenanggungan.
Oh iya, di kampung Amel ada tradisi ‘menunggu rumah’. Di mana anak bungsu harus menetap di rumah orang tuanya. Jadi ketika seluruh kakak-kakaknya pergi merantau jauh, menyisakan orang tua yang semakin lanjut usia, anak bungsu harus tinggal di rumah agar bisa merawat mereka. Sekalipun telah berkeluarga, anak bungsu bersama suami atau istrinya tetap tinggal di rumah orang tua, ‘menunggu rumah’. Dan hal itu selalu membuat Amel merasa kesal ketika memikirkannya.
Keterbatasan pada fasilitas pendidikan membuat keterbatasan juga mengenai ilmu pengetahuan yang ada. Banyak penduduk kampung yang lebih memilih bertani atau menangkap ikan di sungai dibandingkan dengan sekolah. Menurut meraka ijazah tak akan dapat dimakan, dengan kata lain tidak berguna. Sungguh miris bukan.
Amel merupakan anak yang memiliki mimpi-mimpi hebat dan pemahaman yang kuat dibanding dengan teman-teman ataupun saudara-saudaranya. Ia sangat peduli terhadap kampungnya. Oleh karena itu ia bersama 3 temannya yaitu Maya, Chuck Norris, Tambusai, dan dibantu juga dengan Paman Unus mencoba untuk membuat sebuah perubahan.
Di awali dengan kertarikannya akan pembicaraan dengan Pak Bin dan Paman Unus mengenai cara bertani para penduduk kampung yang hanya mengikuti leluhurnya saja sehingga tidak ada peningkatan pada hasil panennya. Padahal di kota-kota besar sudah banyak menggunakan teknik modern seperti yang sederhananya adalah dengan menyemai bibit ataupun yang paling rumitnya dengan kultur jaringan yang membutuhkan perlatan laboratorium. Hasil panen yang di dapat sudah tentu berkali lipat lebih banyak.
Memang tidak mudah membuat penduduk kampung untuk merubah cara bertani mereka yang memang sudah warisan turun temurun. Kurangnya ilmu pengetahuan sudah tentu juga menjadi salah satu faktornya. Namun, bergantungnya kehidupan para penduduk kampung dengan ladang kebun mereka menjadi faktor utamanya karena apabila mereka ingin mengubah cara bertani yang ada saat itu, maka akan dimulai dari awal lagi, yaitu penanaman bibit baru dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mereka mendapatkan hasil yang diinginkan. Sulit memang. Namun bukan berarti hal tersebut tidak bisa terwujudkan.
Suatu malam ada pertemuan rutin para tetua kampung di kediaman Amel. Pembahasannya beragam dimulai dari membahas mengenai kabar masing-masing, ladang, harga pupuk, harga kopi dan karet hingga membahas mengenai gagal panen kopi dari salah seoarang penduduk kampung. Dalam pertemuan tersebut ada yang dapat langsung diputuskan solusinya, adapula yang masih menggantung, tanpa solusi.
Ketika pertemuan hendak ditutup, tiba-tiba Amel yang memang sedari tadi berada disitu dan menyimak pembicaraan mengacungkan tangan. Ia memberikan sebuah usulan mengenai masalah gagal panen kopi dari salah seorang penduduk kampung. Ia mengusulkan untuk membeli ladang yang gagal panen tersebut dengan kas kampung lalu mencoba untuk menanaminya kembali dengan menyemai bibit biji kopi kualitas baik yang sore tadi ia dapatkan ketika berpetualang bersama dengan Maya serta Paman Unus ke tengah hutan.
Awalnya tentu para tetua kampung tidak setuju dengan pendapat Amel karena itu berisiko besar dan melibatkan kas kampung yang secara tidak langsung melibatkan juga seluruh penduduk kampung untuk menyetujuinya. Namun dengan keteguhan hatinya akhirnya Amel dapat meyakinkan para tetua kampung agar mencobanya terlebih dahulu untuk membawa masalah dan usulan tersebut pada musyawarah besar di balai kampung nanti.
Sembari menunggu waktu musyawarah besar dilaksanakan, Amel bersama Maya, Chuck Norris, Tambusai, dan Paman Unus juga dengan 4 pemuda tanggung kampung membuat tempat untuk menyemai biji kopi di lahan belakang sekolah atas izin Pak Bin. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah proses penanamannya nanti.
Banyak penduduk kampung yang sudah mendengar mengenai usulan Amel tersebut dan mereka tidak menyetujuinya karena memang berisiko besar. Namun, dengan keteguhan dan semangat Amel beserta teman-temannya akhirnya semua penduduk kampung setuju untuk menggunakan kas kampung ketika musyawarah besar. Hal tersebut tentu saja tidak mudah karena Amel dan teman-temannya harus berkeliling kampung, mengunjungi satu persatu penduduk kampung untuk memberikan pemahaman mengenai menyemai biji kopi, hasil yang akan diperoleh, serta risiko yang akan ditanggung.
Mungkin awalnya semua orang akan berpikir itu akhir dari kisah Amelia ‘Si Anak Kuat’. Tapi bukan itu akhir ceritanya. Bahkan cerita mengenai penanaman biji kopi yang merupakan rencana besar dan mimpi awal Amel untuk perubahan di kampungnya ternyata gagal. Banjir bandang meluluhlatahkan beberapa rumah penduduk serta ladang-ladang, termasuk ladang kopi yang merupakan mimpi Amel akan awal perubahan di kampungnya. Tak ada korban jiwa memang, namun menyisakan kesedihan mendalam bagi seluruh penduduk kampung terutama untuk Amelia. Kisahnya belum berakhir begitu saja tentunya. Bahkan itu merupakan kisah awal Amelia untuk menjadi lebih kuat dalam mewujudkan mimpi-mimpinya.
Akhir kisah dari buku ini menceritakan Amelia atau kerap di sapa dengan panggilan ‘Amel’ yang berhasil mewujudkan mimpi-mimpi hebatnya. Ia menamatkan seluruh sekolah menengahnya di Kota Kabupaten, lantas menyusul kakaknya Pukat kuliah di Belanda dan setelahnya kembali lagi ke kampung halamannya dengan menjadi dosen di Universitas Terbuka juga menjadi guru tamu diberbagai institusi pendidikan, termasuk SD, SMP, dan SMA.
Di akhir bukunya Amel mengatakan, “Aku akan memastikannya. Penduduk lembah juga berhak atas kehidupan yang lebih layak dan bekecukupan. Aku akan membantunya. Aku telah kembali dengan kekuatan penuh”. Memang pantas ia dikenal sebagai ‘Si Anak Kuat’. Bukan kuat fisik, namun kuat dalam pemahaman dan keteguhan hatinya.
2402000547 | 899.221 3 TER s | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain